Ciri-ciri Muslimpreneur dari Pandangan Muslim Sarjana dan Akademisi
Assalamualaikum Wr. Wb.
Hai Guys, gimana kabarnya? Semoga sehat selalu, diberi keberkahan, kelancaran dan selalu dalam lindungan Allah SWT, Amin YRA.
Kembali lagi dengan blog saya yang menyajikan mengenai Kewirausahaan islami. Kali ini tema yang akan saya bahas adalah Ciri-ciri Muslimpreneur dari Pandangan Muslim Sarjana dan Akademis. Mohon dibaca sampai selesai ya teman-teman.
Ciri-ciri Muslimpreneur dari Pandangan Muslim Sarjana dan Akademisi
Kewirausahaan sebagai bagian dari ekonomi dan bisnis Islam terkait dengan pencarian peluang
di luar kendali sumber daya. Islam selalu mendorong umat Islam untuk menjadi pengusaha
yang inovatif dan aktif. Berbisnis secara etis merupakan hal penting yang harus dipraktekkan
oleh semua pengusaha, khususnya kaum Muslimpreneur. Oleh karena itu, banyak
Muslimpreneur yang menjadi pengusaha sukses saat ini. Perpaduan yang seimbang antara
unsur-unsur dasar spiritual dan fisik dalam rumusan etika Islam dikenal sebagai
akhlaq atau akhlak mulia. Penerapan nilai-nilai etika berdasarkan falsafah tauhid akan
memberikan ukuran universal dari sistem nilai yang harus diikuti oleh setiap manusia. Oleh
karena itu, pembentukan etika wirausaha muslim juga dilandasi oleh nilai-nilai akhlaq. Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik Muslimpreneur dari pandangan cendekiawan dan
akademisi Muslim. Metodologi penelitian ini melalui penelitian kualitatif berdasarkan
wawancara dengan para sarjana dan pakar Muslim. Ciri Muslimpreneur merupakan gabungan
dari berbagai unsur antara lain keimanan dan ibadah kepada Allah, niat baik, halalan thoyyiba, amanah,
setuju dengan yang lain dan lain-lain. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa Islam telah
memberikan aturan-aturan khusus yang harus diikuti oleh semua Muslimpreneur yang
bersumber dari teks al-Quran dan al-Hadis.
1. Pengantar
Kewirausahaan sebagai bagian dari ekonomi dan bisnis Islam terkait dengan pencarian peluang di luar kendali sumber daya. Setiap kegiatan bisnis dan wirausaha yang sejalan dengan ajaran Islam dianggap sebagai ibadah kepada Allah SWT. Segala jenis amalan yang sesuai dengan pedoman dan ketentuan Islam dihitung sebagai amalan yang baik dan diberi pahala oleh Allah SWT. Allah SWT berkata:
Dan barangsiapa melakukan perbuatan benar, baik laki-laki atau perempuan, saat beriman - mereka akan masuk surga dan tidak akan dianiaya, [bahkan sebanyak] noda pada biji kurma. (Al-Nisā ', 4: 124)
Islam mendorong semua umat Islam untuk terlibat dalam kegiatan bisnis. Ada banyak hadis yang diriwayatkan tentang hal ini, antara lain:
Diriwayatkan dari Ismail bin 'Ubaid bin Rifā'ah, dari ayahnya, bahwa kakeknya Rifā'ah berkata: “Kami pergi bersama Rasulullah SAW dan orang-orang berdagang pagi-pagi sekali. Dia memanggil mereka: " pedagang! "Dan ketika mereka mendongak dan menjulurkan leher, dia berkata:
" Para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat sebagai orang-orang yang tidak bermoral, selain dari mereka yang bertakwa kepada Allah dan bertindak benar dan berbicara kebenaran (yaitu mereka yang jujur). (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Sayyidina Abu Sa'ēd melaporkan bahwa Nabi SAW berkata, “ pedagang terpercaya yang benar adalah dengan Nabi (SAW) orang-orang Benar dan para syuhada (pada Hari Kebangkitan) ”. (HR. Ibn Umar)
Kegiatan usaha dan wirausaha harus dilakukan sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan dalam hukum syariah seperti halnya kewajiban agama lainnya (ibadah / ibadah) dalam Islam. Secara umum terdapat beberapa kriteria yang telah ditetapkan sebagai pedoman untuk menjadikan setiap pekerjaan sebagai ibadah seperti pekerjaan yang halal, niat yang ikhlas, mematuhi syariat dalam pekerjaannya dan tidak mengabaikan ibadah khusus kepada Allah (Yusuf AlQaradhawi, 1995 ).
Penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Bailey (1986), Cooper, Dunkelberg, & Woo (1988) dan Perry (2001) telah menunjukkan bahwa karakteristik wirausahawan dikaitkan dengan kinerja mereka dalam hal keberhasilan atau kegagalan usaha mereka, yang ditimbang. dengan melihat kelangsungan hidup atau pertumbuhan bisnis Oleh karena itu, studi ini melihat karakteristik pengusaha Muslim dari perspektif Islam. Kajian ini mencoba menganalisis pandangan para ulama tentang karakteristik yang harus dipraktikkan oleh setiap muslimpreneur.
2 Islam dan Etika
Etika berasal dari kata Yunani ' jiwa khas suatu bangsa 'yang berkembang menjadi' ethique ' di Perancis, ' etika '(Latin) dan' etika 'dalam bahasa Inggris (Judy Pearsall, 1999). Etika meliputi karakter, perilaku, prinsip moral yang mempengaruhi perilaku, dan nilai-nilai yang dipercayai oleh individu atau kelompok (Noresah Baharom, 2000). Banyak penulis mendefinisikan etika sebagai seperangkat nilai, norma dan landasan moral yang berkenaan dengan perilaku dan perilaku individu dalam suatu kelompok sosial. Hal ini memungkinkan mereka untuk membedakan tindakan sebagai benar atau salah dan sebagai baik atau buruk (James H. Donnelly Jr., 1998; Mote, Dave, & Heil, 2000; O'Neil, 1995).
Pembahasan tentang etika Islam merupakan bagian dari kerangka kerja akhlaq ( etika jiwa) diskusi. Akhlaq adalah istilah yang paling tepat untuk menggambarkan etika seorang Muslim (Beekun, 1996). Akhlaq sebagai budi pekerti luhur dan etika jiwa biasanya mengacu pada budi pekerti, sifat, tingkah laku, dan kebiasaan manusia (Noresah Baharom, 2000). Akhlaq tertanam dalam jiwa setiap individu dan tercermin melalui perbuatan mereka. Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (1990) dan Ibn Miskawayh (1961) menegaskan hal itu akhlaq adalah ciri yang tertanam dalam jiwa individu. Setiap perbuatan individu terjadi secara spontan karena adanya sifat-sifat tersebut.
Akhlaq yang merupakan perpaduan keseimbangan antara unsur spiritual dan fisik menjadi landasan utama dalam pembentukan etika beragama Islam. Penerapan nilai-nilai etika yang berpedoman pada filosofi tauhid akan memberikan ukuran universal dari sistem nilai yang harus diikuti oleh setiap manusia. Dengan demikian, pembentukan etika wirausaha muslim juga dilandasi oleh nilai-nilai akhlaq. Pengusaha Muslim terikat pada konsep hubungan dengan Allah ( habl min Allah), hubungan dengan orang lain ( habl min al-nas) dan hubungan dengan lingkungan baik itu intrinsik maupun ekstrinsik dalam setiap perilaku dan tindakannya. Ketiga hubungan tersebut akan menghasilkan nilai-nilai etika pengusaha muslim termasuk takwa ( taqwa), kasih sayang ( ihsan), kepercayaan ( amanah) dan lain-lain.
3 Islam dan Kewirausahaan
Ada berbagai definisi yang dikemukakan tentang wirausaha. Ini termasuk individu yang terlibat dalam suatu perusahaan atau bisnis baru (Nor 'Azzah Kamri, 2009), mendirikan bisnis baru, siap menghadapi semua risiko (Scarbourough & Zimmerer, 2006) dan menemukan cara baru untuk menggunakan sumber daya secara optimal dan menciptakan lebih banyak kesempatan kerja (Vesper, 1980).
Seorang pengusaha sukses biasanya dikaitkan dengan beberapa karakteristik tertentu sebagai aset kesuksesan mereka. Banyak penulis seperti Hisrich & Peters (1995) yang mengemukakan ciri-ciri khusus wirausahawan sukses seperti disiplin, keinginan untuk sukses, berorientasi pada tindakan, berorientasi pada tujuan dan memiliki tingkat energi yang tinggi.
Cendekiawan Muslim juga menguraikan sejumlah karakteristik yang harus dipraktikkan oleh pengusaha Muslim. Diantaranya adalah kejujuran, kebenaran, keadilan, cinta kepada Allah yang diutamakan, rendah hati, syura, untuk menghindari korupsi (Beekun, 1996), berpengetahuan luas, keterampilan, penyayang, dapat dipercaya, istiqamah, eksekusi (Ibrahim Abu Bakar, 1997), kemurahan hati, dan motivasi untuk membantu orang lain (Mushtaq Ahmad, 2001).
Pengusaha muslim terikat oleh etika dan semangat aturan Islam dalam menjalankan aktivitas kewirausahaannya. Mereka memiliki kemampuan untuk menjalankan usahanya dengan baik, transparan dan adil dengan menjauhi semua larangan sebagaimana yang diatur dalam Islam (Mohammad Noorizzuddin Nooh & Hisham Sabri, 2005). Hal ini membuat mereka berbeda dengan pengusaha lainnya, baik Muslim maupun non-Muslim.
Ciri holistik pengusaha muslim telah menanamkan kaidah metafisika yang bersifat abstrak seperti dosa, pahala, neraka dan surga yang menjadi pemicu perilaku manusia dalam menata pengembangan wirausaha (Mohd Faizal P. Rameli, Muhammad Ridhwan & Kalsom, 2013a). Dengan demikian, setiap pengusaha Muslim yang terlibat dalam kegiatan kewirausahaan, mempersepsikan peluang dan menciptakan organisasi untuk mengejarnya berdasarkan prinsip-prinsip Islam harus dikenal sebagai Muslimpreneur (Mohd Faizal P. Rameli, Muhammad Ridhwan & Kalsom, 2013b) daripada hanya dikenal sebagai Pengusaha Muslim.
4 Metodologi
Data yang digunakan untuk penelitian ini dikumpulkan melalui pendekatan kualitatif. Serangkaian wawancara semi terstruktur dilakukan dengan cendekiawan dan akademisi Muslim untuk mendokumentasikan pandangan mereka terhadap karakteristik Muslimpreneur. Beberapa cendekiawan dan akademisi Muslim telah dihubungi untuk mendapatkan persetujuan mereka dalam berpartisipasi dalam penelitian ini. Penelitian ini tidak memiliki batasan jumlah peserta dan serangkaian wawancara yang harus dilakukan. Proses pengumpulan data akan dihentikan setelah mencapai titik jenuh.
Serangkaian wawancara semi terstruktur dilakukan dengan peserta yang berfokus pada karakteristik dan nilai-nilai etika yang harus dianut oleh seluruh Muslimpreneur. Semua wawancara dilakukan di kantor peserta. Rangkaian wawancara semi terstruktur dilakukan berdasarkan tiga tema yaitu (1) etika, moral dan akhlaq, ( 2) Etika Bisnis dan Etika Bisnis Islam, dan (3) Etika Bisnis Islam dalam empat fungsi bisnis. Semua sesi wawancara direkam dengan izin dari responden dan kemudian ditranskripsikan secara manual sebelum melalui proses pengkodean dan analisis deskriptif.
5 Analisis Data Kualitatif
Tujuan Islam didasarkan pada konsep tauhid ( kesatuan), khilafah ( perwalian), dan 'Ibadah ( menyembah). Islam beroperasi dalam konsep-konsep ini melalui unsur-unsur 'adl ( keadilan sosial) dan istislah ( kepentingan umum). Konsep-konsep tersebut jika diterjemahkan menjadi nilai-nilai menunjukkan bahwa sistem Islam telah mengintegrasikan fakta dan nilai, kemudian melembagakan sistem pengetahuan yang didasarkan pada akuntabilitas dan tanggung jawab sosial.
Bagian ini akan memfokuskan pada analisis karakteristik Muslimpreneur berdasarkan pandangan cendekiawan dan akademisi Muslim yang diperoleh melalui serangkaian wawancara yang telah dilakukan.
5.1 Etika, moral dan akhlaq
Semua responden umumnya menjelaskan bahwa akhlaq adalah tentang tingkah laku, sikap dan gerak tubuh manusia. Dengan mengacu pada pendapat Imam al-Ghazali, mereka menjelaskan hal itu akhlaq pada dasarnya berasal dari hati dan diekspresikan oleh tubuh manusia ( al-Jawarih). Sumber akhlaq adalah al-Qur'an dan al-Sunnah yang artinya adalah wahyu (wahyu) dari Allah SWT. Sedangkan etika dan moral keduanya sebenarnya berdasarkan pada masyarakat barat. Singkatnya, etika adalah prinsip nilai, dan moralitas adalah praktik nilai.
Etika dan moral didasarkan pada masyarakat barat. Orang bebas menggunakan pikirannya untuk menentukan nilai dari setiap tindakan dan tindakan. Terkadang ada perbuatan yang salah dalam pandangan etika, namun dianggap benar secara moral. Keputusan kohabitasi sebelum menikah salah dalam pandangan etika dan juga haram dalam hukum Islam. Tapi itu dianggap benar secara moral (diperbolehkan) oleh masyarakat Barat. Mereka bahkan menganggap mereka tidak salah sama seperti meminum alkohol.
Responden juga menekankan terminologi itu akhlaq lebih tepat membahas tentang etika Islam karena begitu luas, holistik, dan juga memasukkan unsur intrinsik dan ekstrinsik. Namun, kecenderungan penulis untuk menggunakan etika sebagai istilah tidaklah salah dan dapat diterima. Itu dilihat sebagai pendekatan yang tepat berdasarkan situasi dunia saat ini. Ini juga dipandang lebih universal daripada istilah akhlaq yang sering disalahartikan sebagai istilah agama (Islam).
Pembahasan tentang etika, moral dan akhlaq adalah semua tentang karakteristik baik dan buruk dan tindakan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Perbedaan utama antara semua istilah ini adalah sumber dalam menentukan nilai-nilai tindakan tersebut. Praktek etika dan moral tanpa nilai akhlaq akan menghasilkan orang yang beretika dalam organisasinya karena mereka terikat pada etika dan aturan yang ditetapkan. Pada saat yang sama, tidak menjamin bahwa mereka akan tetap beretika ketika berada di luar organisasi atau badan usaha mereka. Namun, nilai akhlaq yang dimiliki oleh setiap individu akan diadopsi pada setiap waktu dan kondisi karena itu adalah temperamen dan sifat asli dari perilaku mereka dan telah menjadi bagian dari diri mereka sendiri.
Sebagaimana komunisme yang akan menjadi pengikutnya untuk mengamalkan doktrin komunisme dalam kehidupannya, Islam juga menekankan pentingnya pendidikan di kalangan umat Islam dalam membentuknya. akhlaq. Kekuatan pendidikan Islam akan mempengaruhi pengamalan akhlaq di kalangan Muslim termasuk muslimpreneur.
5.2 Etika Bisnis dan Etika Bisnis Islam
Pembahasan Etika Bisnis Islam sebenarnya mengacu pada teori akhlaq dalam konteks bisnis. Bahkan lebih tepat disebut sebagai akhlaq prinsip. Islam sebagai sistem kehidupan didasarkan pada prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam al-Qur'an dan al-Sunnah daripada teori-teori yang biasanya diperdebatkan. Selain itu, terdapat berbagai teori tentang bisnis seperti Teori Utilitas, Teori Kepuasan dan lain-lain yang harus dikoordinasikan dengan prinsip-prinsip akhlaq.
Secara umum Etika Bisnis Islam dan Etika Bisnis tidak jauh berbeda. Mungkin berbeda dalam roh dan jiwa saja. Semangat dan jiwa Islam hanya ada pada pengusaha Muslim yang berkomitmen untuk menjalankan cara hidup Islami. Singkatnya, pengusaha muslim yang telah mengamalkan etika secara mutlak karena itu adalah etika maka itu akan menjadi etika bisnis. Namun jika etika dipraktekkan karena kesadaran Islam maka akan disebut dengan Etika Bisnis Islam.
Jadi, niat itu penting. Niat akan menentukan tujuan tindakan dan cara mereka bertindak. Praktiknya tidak hanya mengikuti aturan; selain itu dilakukan karena Islam.
Dengan niat yang benar dan amalan yang benar maka aktivitas itu akan menjadi ibadah kepada Allah SWT. Inilah perbedaan besar antara Etika Bisnis Islam dan Etika Bisnis. Oleh karena itu, para responden telah mencantumkan beberapa contoh niat yang dapat dijadikan pedoman oleh para Muslimpreneur khususnya pada tahap awal usaha mereka. Diantaranya adalah kebutuhan ekonomi, lebih kreatif dan mandiri, menganggur, membantu sesama, berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi, menyebarkan firman Allah dan menciptakan lapangan kerja.
Dengan niat yang benar dan amalan yang benar maka aktivitas itu akan menjadi ibadah kepada Allah SWT. Inilah perbedaan besar antara Etika Bisnis Islam dan Etika Bisnis. Oleh karena itu, para responden telah mencantumkan beberapa contoh niat yang dapat dijadikan pedoman oleh para Muslimpreneur khususnya pada tahap awal usaha mereka. Diantaranya adalah kebutuhan ekonomi, lebih kreatif dan mandiri, menganggur, membantu sesama, berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi, menyebarkan firman Allah dan menciptakan lapangan kerja.
Bagian dari taqwa dan ibadah yang telah membentuk kerangka dasar Etika Bisnis Islam, juga didukung oleh beberapa nilai lain, antara lain mengedepankan yang halal, tidak menyia-nyiakan, menjunjung akhlak yang tinggi, amanah, peduli pada kesejahteraan, berilmu dan peduli kepada masyarakat dan lingkungan Hidup.
Ciri-Ciri Muslimpreuneur
1. Takwa sebagai kerangka kerja
Pelaksanaan ibadah wajib dan sukarela keduanya fardhu ain (pribadi) dan fardhu kifayah (masyarakat), niat yang benar menurut prinsip islam
2. Beribadah kepada Allah SWT menjadi prioritas
Prioritaskan ibadah kepada Allah seperti shalat, puasa di bulan ramadhan, haji dan umrah(ziarah), zakat (sedekah), shalat sunat, dan lain-lain daripada karya lainnya
3. Halal sebagai prioritas utama
Pilih sumber yang halal, murni dan bersih ; mempraktikkan prosedur halal
4. Jangan sia-siakan
Gunakan semua sumber daya secara efisien
5. Mempraktikkan nilai moral yang tinggi
Tidak terlibat dalam kegiatan apapun yang dilarang dalam islam seperti riba, penyuapan, penggelapan, perzinahan, mencuri, dll
6. Terpercaya
kejujuran, kepercayaan, menepati janji, tepat waktu, dll
7. Peduli terhadap kesejahteraan
Saling membantu terutama yang miskin, membutuhkan dan lapar
8. Berpengalaman luas
Terus mencari pengetahuan yang baru
9. Peduli terhadap masyarakat dan lingkungan
Produksinya tidak merugikan masyarakat da lingkungann
5.3 Etika Bisnis Islam dalam Empat (4) Fungsi Bisnis
Ciri-ciri Muslimpreneur dijabarkan secara rinci berdasarkan tindakannya dalam menangani kegiatan usahanya. Intinya, para responden sepakat bahwa praktik Etika Bisnis Islam di kalangan pengusaha dapat dilihat secara jelas melalui pengamatan cara mereka menjalankan bisnis dalam empat fungsi bisnis.
a. Etika Bisnis Islam dalam Produksi
Fungsi produksi dalam sistem ekonomi Islam dikendalikan oleh konsep alRizq sebaik halal dan haram sumber pemasukan. Syarat al-Rizq Diterapkan berkonotasi mata pencaharian dan sarana produksi selanjutnya, yang telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad SAW dan ditetapkan oleh Allah SWT (Joni Tamkin Borhan & Muhammad Ridhwan Ab. Aziz, 2009; Muhammad Ridhwan Ab. Aziz, 2011)
Pembahasan produksi mencakup empat unsur utama yaitu jenis produk, prinsip dasar produksi, produksi halal dan sertifikasi halal. Untuk menentukan dan memilih produk yang akan diproduksi, Muslimpreneur harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti Halalan Thoyyiba, keuntungan-keuntungan ( manfa'at), nilai ibadah, kelangsungan hidup dan daya saing.
Para Muslimpreneur juga berusaha untuk memastikan bahwa semua produk mereka sesuai dengan prinsip-prinsip umum produksi dalam Islam. Diantaranya adalah; murni dan bersih, temui konsep dari maslahah ( kepentingan umum), memenuhi Maqasid Syari'ah ( Tujuan Syariah), berdasarkan al-Awlawiyyat ( prioritas), dan tidak merugikan.
Untuk menghasilkan produk halal, Muslimpreneur harus berkonsentrasi pada pemanfaatannya halal sumber daya dan halal bahan, menerapkan halal prosedur kerja seperti tidak curang; tidak ada praktik riba dan menjaga kebersihan. Muslimpreneur juga harus mematuhi semua standar dan peraturan yang ditetapkan oleh otoritas. Untuk memperlancar proses ini, mereka didorong untuk berusaha keras memperolehnya Halal sertifikasi. Halal Sertifikat akan membantu mereka meningkatkan tingkat kepercayaan konsumen, meningkatkan peringkat produk dan perusahaan, dan secara otomatis mereka juga memiliki syari'at jadwal pemantauan kepatuhan.
b. Etika Bisnis Islam dalam Pemasaran
Pemasaran adalah fungsi bisnis yang mengidentifikasi kebutuhan konsumen, menentukan pasar sasaran dan menerapkan produk dan layanan untuk melayani pasar tersebut. Ini juga melibatkan promosi produk dan layanan semacam itu di pasar. Pemasaran merupakan bagian integral dari kesuksesan bisnis, besar atau kecil, dengan fokus utamanya pada kualitas, nilai konsumen dan kepuasan pelanggan (Meera Singh, 2012). Strategi yang biasa digunakan adalah "Bauran Pemasaran". Alat ini terdiri dari empat variabel yang dikenal sebagai pemasaran "Empat P" (Produk atau Layanan, Tempat, Harga dan Promosi). Bauran pemasaran memadukan variabel-variabel ini bersama-sama untuk menghasilkan hasil yang ingin dicapai dalam pasar sasaran spesifiknya.
Sedangkan etika pemasaran Islam memadukan prinsip maksimalisasi nilai dengan prinsip pemerataan dan keadilan untuk kesejahteraan masyarakat. Etika pemasaran Islam yang didasarkan pada prinsip keadilan dan kesetaraan dalam Islam berbeda dengan etika sekuler dalam banyak hal (Saeed, Ahmad, & Mukhtar, 2001). Berdasarkan perbedaan antara pemasaran syariah dan konvensional, pengusaha muslim disarankan untuk menggunakan konsep 5P dibandingkan dengan 4P. Konsep 5Ps terdiri dari Product or Service, Place, Price, Promotion dan People (Abul Hassan, Abdelkader Chachi, & Salma Abdul Latiff, 2008).
Selain penerapan konsep 4Ps atau 5Ps, Muslimpreneur juga disarankan untuk mengupayakan sertifikasi halal bagi setiap produknya karena sangat bermanfaat bagi kelangsungan usahanya. Terlebih mereka diimbau untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang dalam hukum Islam seperti pelaksanaannya bai 'al-najash dan bai 'al-hasāt, terlibat dengan riba (riba ') dan korupsi, monopoli dan manipulasi.
Proses periklanan juga harus dilakukan dengan memperhatikan unsur kebenaran dan transparansi, harga yang wajar dan tidak diskriminatif, tidak ada unsur paksaan dan penipuan, menggunakan model dan duta produk yang sesuai dengan syariat Islam.
Dalam menghadapi rival bisnisnya, Muslimpreneur harus fokus pada peningkatan kualitas produk dan manfaatnya daripada mendiskreditkan produk kompetitornya. Dalam upaya meningkatkan pendapatan penjualan, mereka harus selalu menjaga etika dan hubungan baik di antara masyarakat.
c. Etika Bisnis Islam dalam Pembiayaan
Pembiayaan syariah sama pentingnya dengan proses produksi itu sendiri bagi kaum Muslimpreneur. Ini karena umat Islam terikat oleh prinsip-prinsip Islam dalam setiap aspek kehidupan mereka. Dalam konteks ini, untuk mendapatkan halal penghasilan, setiap aktivitas seorang muslim harus dilakukan sesuai dengan prinsip syari'at. Tiga perhatian utama dari pembiayaan Islam adalah harus bebas dari apapun elemen minat ( riba), ketidakpastian ( gharar) dan perjudian ( maysir). Larangan semua elemen ini dapat ditemukan dalam teks syari'at.
Responden menyatakan bahwa pengelolaan keuangan suatu usaha adalah tentang dari mana sumber diperoleh dan bagaimana pengeluarannya. Semua sumber keuangan bisnis harus diperoleh dengan cara yang sah menurut prinsip Islam, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Di antara hal penting yang harus diwaspadai oleh setiap muslimpreneur adalah modal usaha mereka. Untuk menghindari mereka daripada menggunakan modal dari haram ( haram) Sumber, mereka didorong untuk menggunakan modal yang diperoleh melalui tabungan mereka sendiri, keluarga dan kerabat. Mereka juga bisa mendapatkan dukungan keuangan dari lembaga keuangan Islam atau lembaga berbasis non-bunga.
Dalam hal pengeluaran pendapatan usaha, Islam telah meletakkan setidaknya dua pedoman dasar pengeluaran: (1) terbatas pada tujuan halal, dan (2) berdasarkan prioritas ( al-Awlawiyyat). Islam telah menguraikan dua bentuk pengeluaran, yaitu yang halal ( Halal) dan ilegal ( Haram). Pengeluaran yang sah terdiri dari pengeluaran wajib ( wajib) dan sukarela ( sunah) biaya.
Biaya wajib adalah biaya yang harus ditanggung oleh setiap Muslimpreneur tanpa ada pengecualian. Ini termasuk upah dan gaji, biaya pengelolaan, zakat, hutang bisnis, dan lain-lain. Pengeluaran sukarela diatur dengan kebijaksanaan Muslimpreneur. Ini mencakup banyak hal seperti kenaikan gaji, bonus, dan hadiah untuk karyawan. Di saat yang sama, para responden juga mengingatkan umat Muslim untuk tidak terlibat dalam pengeluaran yang dilarang dan diharamkan oleh Allah SWT. Yang melanggar hukum ( haram) Pengeluarannya termasuk riang dan boros seperti yang tertera di banyak ayat al-Quran dan al-Hadis.
d. Etika Bisnis Islam dalam Sumber Daya Manusia
Karyawan adalah aset perusahaan yang paling berharga karena mereka adalah penggerak perusahaan. Hubungan antara pengusaha dan karyawan termasuk dalam kategori habluminannas. Oleh karena itu, Islam menganjurkan agar hubungan antara pengusaha dan karyawan dibangun di atas kerangka Islami. Responden membagi manajemen sumber daya manusia Islam dalam dua situasi, yaitu hubungan dengan karyawan dan ketenagakerjaan.
Terciptanya hubungan dengan karyawan harus berdasarkan Islam as al-Din. Melalui pendekatan ini, karyawan akan diperlakukan sebagai amanah ( amanah) dan aset perusahaan. Mereka tidak diperlakukan sebagai satu-satunya persalinan. Muslimpreneur juga harus memahami bahwa rezeki ( Rizqi) adalah hadiah dari Tuhan. Itu adalah kepercayaan yang harus dibagikan secara adil dan merata. Mereka juga dituntut untuk memberikan kesepakatan yang adil dan melaksanakan semua hak karyawannya seperti hak beragama, bekerja, sosial dan lain-lain.
Dalam bidang ketenagakerjaan, pengangkatan pegawai harus sesuai dengan kualifikasi dan kemampuannya serta kemampuan perusahaan. Oleh karena itu, mereka harus diberi remunerasi yang wajar berdasarkan hal-hal tersebut di atas. Besarnya gaji yang harus dibayar juga harus memperhatikan faktor-faktor lain seperti garis kemiskinan, biaya hidup, dan upah minimum atau batas bawah yang dapat diberikan sebagai gaji.
Dari rangkaian wawancara yang telah dilakukan, para responden berusaha untuk menghubungkan antara beribadah kepada Allah SWT dengan penerapan etika di kalangan pengusaha muslim. Pelaksanaan kewajiban agama seperti sholat, puasa dan zakat mengandung arti adanya nilai-nilai etika, khususnya dalam konteks hablumminallah. Singkatnya, pelaksanaan semua ibadah wajib merupakan tanda bahwa seseorang adalah umat yang beretika. Tujuan utama penciptaan makhluk adalah untuk menyembah Allah. Allah SWT berkata:
Dan [katakan pada mereka bahwa] Aku tidak menciptakan makhluk dan manusia yang tidak terlihat untuk tujuan apapun selain dari itu mereka mungkin [mengenal dan] menyembah Aku. ( Al-Dzāriyāt, 51: 56)
Pelaksanaan ibadah menunjukkan hal itu akhlaq antara manusia dan Allah telah ada. Namun, itu harus dilakukan dengan ikhlas ( ikhlas), kerendahan hati ( tawadhu '), konsisten ( istiqamah), dan komprehensif. Untuk melengkapi proses pembentukan file akhlaq, Muslimpreneurs harus meningkatkan hubungan mereka dengan orang lain ( hablumminannas) dan lingkungan. Oleh karena itu, mereka dihimbau untuk menjauhi setiap perilaku dan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai etika Islam ( akhlaq).
6. Kesimpulan
Etika sebagaimana dikemukakan dalam pembahasan di atas merupakan pedoman pembentukan sistem etika di kalangan Muslimpreneur. Kode etik Islam multidimensi, jangkauannya jauh dan komprehensif. Kerangka etika Islam berulang kali ditekankan di seluruh al-Qur'an dan al-Hadis dan mencakup semua bidang kehidupan termasuk urusan dan kewajiban keuangan bisnis. Kode dasar perilaku moral seperti kejujuran, kepercayaan, kemurahan hati dan kemurahan hati, kepatuhan pada komitmen dan kontrak bisnis, perlakuan adil terhadap pekerja, penghindaran praktik jahat memberikan latar belakang umum etika bisnis Islam.
Penerapan etika bisnis Islam di kalangan Muslimpreneur membuat mereka terlihat berbeda dibandingkan dengan pengusaha Muslim lainnya. Etika bisnis Islam sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT akan melahirkan Muslimpreneur yang ikhlas, jujur dan beriman. Ini akan memungkinkan mereka untuk berpikir dan bertindak semata-mata demi Allah. Tujuan dalam etika Islam adalah untuk mencapai taqwa, budi pekerti, melalui pengamalan agama dan kebajikan moral yang semuanya dilandasi rasa benar dan salah yang diberikan sebagai amanah kepada umat manusia.
Demikian hal yang dapat saya share untuk teman-teman dalam blog saya ini. Kurang lebihnya saya mohon maaf apabila ada hal yang kurang berkenan dalam postingan saya. Semoga postingan tersebut dapat bermanfaat untuk semuanya. Sampai bertemu di postingan selanjutnya, tentunya dengan hal yang bermanfaat dan materi yang lebih menarik. Nantikan di postingan berikutnya.😉
Wassalamualaikum Wr. Wb.
1
|
|
||||
|
|

Komentar
Posting Komentar